Penelitian Dosen ITERA Tentang Pemanfaatan Limbah Styrofoam Masuk Peringkat Tertinggi Jurnal Internasional

Penelitian Dosen ITERA Tentang Pemanfaatan Limbah Styrofoam Masuk Peringkat Tertinggi Jurnal Internasional

  • Post author:
  • Post category:Berita
Print Friendly, PDF & Email

ITERA NEWS. Publikasi hasil penelitian dosen Program Studi (Prodi) Fisika Institut Teknologi Sumatera (ITERA) Abdul Rajak, M.Si. berhasil meraih penilaian tertinggi atau masuk kategori quartil 1 (Q1) di jurnal internasional Nanotechnology dari penerbit IOP Science. Abdul Rajak bersama empat penulis lainnya yakni Dian Ahmad Hapidin, Ferry Iskandar, Muhammad Miftahul Munir dan Khairurrijal menulis paper berjudul Controlled Morphology of Electrospun Nanofibers from Waste Expanded Polystyrene for Aerosol Filtration. Paper tersebut disusun dari penelitian yang mentransformasikan limbah styrofoam menjadi bahan serat halus berukuran dalam orde nanometer yang dikenal dengan nanoserat (nanofiber) sebagai bahan penyaring udara.

Paper tersebut disusun Abdul Razak, dan penulis lain saat menempuh studi S3 di Institut Teknologi Bandung di bawah bimbingan tiga orang dosen pembimbing yaitu Prof. Dr. Eng. Khairurrijal, Dr. Eng. Muhammad Miftahul Munir dan Dr. Eng. Ferry Iskandar.

Abdul Razak menjelaskan penelitian pada paper tersebut berawal dari kekhawatiran penulis tentang meningkatnya penggunaan bahan material styrofoam atau dikenal dengan nama ilmiah (expanded polystyrene, EPS). Styrofoam umumnya digunakan sebagai pelindung peralatan elektronik, kemasan makanan dan untuk dekorasi atau kerajinan. Semua penggunaan bahan tersebut menghasilkan sisa pakai atau limbah yang saat ini kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sebab styrofoam merupakan klasifikasi plastik jenis yang ke enam dari tujuh jenis yang ada dan sulit terurai secara alami oleh tanah.

Oleh karena itu, Ia mengaku tergerak untuk mendaur ulang limbah styrofoam menjadi bahan yang lebih bernilai dan bermanfaat, yaitu dengan mentransformasikan limbah styrofoam menjadi bahan serat halus berukuran dalam orde nanometer yang dikenal dengan nanoserat (nanofiber). Nanoserat dipintal menggunakan teknik elektrospinning sehingga membentuk sebuah lembaran. Nanoserat yang dihasilkan dapat diaplikasikan ke berbagai bidang seperti biomaterial, obat-obatan, sensor, energi dan penyaringan.

Menurut Abdul Razak, pilihan untuk memanfaatkan lembaran nanoserat styrofoam sebagai media penyaringan udara, karena permasalahan polusi udara dari berbagai sumber seperti kebakaran hutan, aktivitas industri, kendaraan bermotor di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Apalagi kelebihan dari media penyaringan menggunakan bahan nanoserat ini yaitu mampu menahan atau menangkap partikel-partikel halus yang berukuran nanometer yang terkandung di udara dibandingkan dengan media penyaringan udara konvensional yang umumnya masih terbatas dalam hal kemampuan menyaring partikel tersebut.

Untuk membuktikan media penyaringan udara dari bahan limbah styrofoam tersebut efektif menyaring partikel udara halus, pria kelahiran Garut, 5 Februari 1989 itu melakukan tahapan pengujian baik  terhadap metode pembuatan seratnya maupun uji kinerja penyaringan udara.  Hasilnya nanoserat dari limbah styrofoam memiliki sifat dan karakteristik yang sangat baik untuk digunakan sebagai media penyaringan udara.

Abdul Razak menceritakan, sebelum dipublikasikan, draft tulisan paper yang diajukan sejak 29 Maret 2019  ke Jurnal Nanotechnology dan direview oleh 3 orang reviewer yang berasal dari institusi di Jepang dan Amerika. Dua minggu semenjak paper ini disubmit, hasil review keluar dalam kategori sedang. Namun, hal itu tidak memutuskan semangat para penulis karena mereka diberikan waktu selama dua pekan untuk melakukan revisi tulisan. Setelah melalui tahapan revisi, dan para reviewer merasa puas dengan jawaban komentarnya, maka selanjutnya editor jurnal memutuskan untuk menerima tulisan ini untuk selanjutnya dipublikasikan.

Penelitian yang dilakukan baik dari segi material ataupun metode yang dilakukan harus merupakan yang pertama kali di dunia ini dan belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya

Kriteria Sangat Ketat

Abdul Razak mengaku tidak menyangka bahwa tulisan hasil penelitian dirinya akan diterima di Jurnal yang cukup berkelas seperti Nanotechnology ini. Apalagi sampai bias menempati klusterisasi tertinggi yakni Q1. Sebab dalam publikasi ilmiah, scopus yang merupakan suatu lembaga pengindeks dan database jurnal membagi jurnal-jurnal tersebut dalam empat klusterisasi berdasarkan kualitasnya yaitu : Q1, Q2, Q3 dan Q4. Dimana Q1 adalah kluster paling tinggi atau paling utama dari sisi kualitas jurnal diikuti dengan Q2, Q3 dan Q4. Menurut dia, untuk bisa meraih peringat Q1 sebuah publikasi ilmiah harus memenuhi beberapa kriteria sangat ketat seperti, adanya aspek kebaruan dalam penelitian, penggunaan bahasa Inggris harus baik dan benar, hingga disertai dengan gambar-gambar pendukung penelitian yang berkualitas.

“Artinya penelitian yang dilakukan baik dari segi material ataupun metode yang dilakukan harus merupakan yang pertama kali di dunia ini dan belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya,”ujar Abdul Razak.

Abdul Razak bersyukur dengan apa yang telah dicapai, dan berharap pengalamannya tersebut dapat menjadi pemicu semangat dirinya dan tim dosen di ITERA. Ia menyebut akan melanjutkan topik penelitian tersebut, di kampus ITERA, karena menurut dia banyak potensi-potensi penelitian lain yang dapat dilakukan dan dipublikasikan dalam jurnal yang cukup berkualitas.“Harapan saya setelah kembali ke ITERA, saya dapat melakukan penelitian-penelitian yang manfaatnya dapat juga dirasakan oleh masyarakat sekitar untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi saat ini,”pungkas Abdul Razak. [Rudi]