Rektor ITERA Tolak Tudingan Politisasi dan Komersialisasi Kampus di Indonesia

Rektor ITERA Tolak Tudingan Politisasi dan Komersialisasi Kampus di Indonesia

  • Post author:
  • Post category:Berita
Print Friendly, PDF & Email

Oleh : Rektor ITERA
Prof. Dr. I Nyoman Pugeg Aryantha

Tudingan kampus-kampus melakukan politisasi hingga komersialisasi pendidikan tinggi melalui jabatan seorang rektor sangatlah tidak berdasar. Tudingan sepihak yang perlu diluruskan, agar kepercayaan publik tidak tergerus, hingga masyarakat menarik diri berpartisipasi membangun pendidikan tinggi Indonesia yang berkualitas.

Pemilihan Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang belakangan disorot karena Rektor terpilih untuk periode 2023 – 2028 yaitu Prof. Sajidan, dianulir oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, membuat beberapa media menurunkan pemberitaan, hingga opini seputar Pilrek UNS. Penulis sangat menghargai atas ketetapan yang dilakukan oleh Kemdikbud RI. Akan tetapi, atas kejadian tersebut, penulis menolak opini yang dibangun di masyarakat, bahwa perguruan tinggi negeri di Indonesia telah terpolitisasi dan cenderung melakukan komersialisasi dari jabatan seorang rektornya. Seperti opini Majalah Tempo yang juga diterbitkan melalui laman majalah.tempo.co yang terbit, Minggu, 9 April 2023.

Dalam penggalan opini tersebut, disampaikan, Komersialisasi perguruan tinggi negeri juga membuat pemilihan rektor sering kisruh. Setelah kampus negeri diizinkan menggalang dana di luar anggaran negara, jabatan rektor kian menggiurkan, selain menjanjikan gaji dan fasilitas “wah”’jabatan Rektor bisa menjadi kesempatan untuk mendekat ke pelbagai sumber dana. Rektor bisa menjadi simpul dalam jual beli kursi mahasiswa baru di jurusan favorit lewat jalur mandiri. Rektor pun bisa menjadi kunci dalam jual-beli gelar doktor atau profesor. Maka godaan untuk menghalalkan segala cara dalam pemilihan rektor pun makin besar.

Penulis secara terbuka memprotes keras opini tersebut, karena dapat semakin meruntuhkan kepercayaan yang saat ini tengah dibangun oleh 125 perguruan tinggi negeri, dan lebih dari 2.982 perguruan tinggi swasta di Indonesia (sumber data statistik Indonesia), ditengah terpaan isu korupsi perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru.

Jabatan Rektor tidaklah segemerlap yang disampaikan. Sebab, masyarakat juga perlu mengetahui status perguruan tinggi di Indonesia, tidaklah sama rata. Ada perguruan tinggi negeri berstatus satuan kerja (Satker), Badan Layanan Umum (BLU), dan Badan Hukum (BH). Pengkategorian PTN tersebut juga merujuk pada kemampuan finansial sebuah kampus.

Di Institut Teknologi Sumatera (ITERA) yang berkedudukan di Provinsi Lampung, dan notabene berstatus Satker, kursi Rektor tidaklah seempuk yang mungkin dibayangkan publik, apalagi menjanjikan gaji dan fasilitas “wah” seperti opini yang dibangun. Untuk diketahui, di PTN Satker seperti ITERA, pejabat Rektor hanya menerima tunjangan jabatan sekitar 5 juta per bulan. Tidak hanya itu, rektor juga tidak menempati rumah dinas, yang mungkin bisa dianggap bagian fasilitas wah. Menjadi Rektor ITERA berarti bersedia tinggal bersama dosen ataupun tenaga kependidikan lain, di sebuah kamar wisma yang dibangun di lingkungan kampus.

Tidak sedikit Rektor berintegeritas yang masih menjaga amanah dengan sangat berhati-hati dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, terutama seleksi penerimaan mahasiswa baru. Kehati-hatian tersebut adalah untuk menjaga hak setiap calon generasi muda bangsa agar tidak terenggut akibat prilaku culas.

Tudingan lain, yang juga dapat menjatuhkan kepercayaan publik terhadap jabatan rektor, yang saya tolak secara keras adalah, tatkala rektor perguruan tinggi dinilai bisa menjadi simpul dalam jual beli kursi mahasiswa baru di jurusan favorit lewat jalur mandiri. Yakinlah, jika ada Rektor yang mungkin tersandung kasus tersebut, itu adalah suatu anomali, dan tidak berarti semua rektor melakukan praktik yang sama.

Tidak sedikit Rektor berintegeritas yang masih menjaga amanah dengan sangat berhati-hati dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, terutama seleksi penerimaan mahasiswa baru. Kehati-hatian tersebut adalah untuk menjaga hak setiap calon generasi muda bangsa agar tidak terenggut akibat prilaku culas. Penulis juga meyakini, partisipasi masyarakat, hingga berbagai organisasi pemantau pemerintahan seperti Ombudsman, KPK, dan lainnya masih akan setia mengawal setiap proses penerimaan mahasiswa baru agar transparan, jujur, dan adil.

Pada akhirnya, saya secara tegas menolak opini yang seolah menggeneralisasikan politisasi dan komersialisasi tumbuh subur di setiap kampus di Indonesia melalui jabatan seorang rektornya. Sebab hal itu, meruntuhkan semangat perguruan tinggi seperti ITERA yang masih merangkak dan tumbuh untuk menjadi kiblat pengembangan peradaban. Sebagai institut teknologi yang dibangun untuk menyiapkan generasi emas Indonesia, ITERA sedari awal berkomitmen membangun sebuah sistem pendidikan tinggi yang berintegeritas, profesional, dan mengedepankan akuntabilitas.

Saatnya kita bersama-sama berjuang untuk membangun sebuah gerakan bersama, mendukung peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.[]