Membedah Storm Surge di Pantai Lampung Timur

Membedah Storm Surge di Pantai Lampung Timur

Print Friendly, PDF & Email

Penulis : Muhammad Fatkhurrozi, S.T., M.T.
Dosen Teknik Kelautan Itera

OPINI ITERA – Pada pertengahan Juni lalu, warga Muara Gading Mas, Kecamatan Labuan Maringgai, Lampung Timur, dikejutkan oleh air laut yang tiba-tiba meninggi dan meluber ke daratan. Pantai yang biasanya tenang berubah menjadi arena riak liar, diterpa angin kencang yang membawa suasana mendung penuh kecemasan. Bagi sebagian orang, ini sekadar gejala cuaca buruk. Namun, bagi kami yang mempelajari dinamika pantai, inilah contoh nyata fenomena storm surge.

Storm surge, atau limpasan badai, adalah kenaikan muka air laut akibat hembusan angin kencang yang mendorong massa air menuju daratan. Dalam kasus 14 Juni 2025, BMKG telah mengeluarkan peringatan dua hari sebelumnya tentang potensi cuaca ekstrem dengan kecepatan angin hingga 47 km/jam. Namun, kendati peringatan itu sudah disebarkan, daya rusaknya tetap tak terhindarkan. Di Pantai Kerang Mas, ombak menembus kios warung yang berjarak puluhan meter dari garis pantai.

Perlu dipahami, storm surge bukan fenomena acak. Ada rumus dan ilmu di baliknya. Dean dan Dalrymple pernah merumuskan hubungan antara kecepatan angin, luas area pembangkitan, serta kedalaman laut. Dalam peristiwa di Lampung Timur, batimetri perairan yang dangkal dan relatif rata menjadi faktor pendorong. Laut dangkal memperbesar efek dorongan angin, sehingga ketinggian air lebih cepat bertambah. Dengan pendekatan sederhana, tinggi limpasan saat itu diperkirakan mencapai 0,3–0,5 meter—angka yang sejalan dengan pengamatan di lapangan.

Perlu dipahami, storm surge bukan fenomena acak. Ada rumus dan ilmu di baliknya. Dean dan Dalrymple pernah merumuskan hubungan antara kecepatan angin, luas area pembangkitan, serta kedalaman laut.

Meski demikian, estimasi tersebut bukan tanpa keterbatasan. Data visual di lokasi tidak seakurat pengukuran sensor profesional. Formula perhitungan pun bersifat kasar. Namun, keterbatasan metode bukan alasan untuk menutup mata. Justru inilah panggilan untuk meningkatkan kapasitas mitigasi bencana pesisir kita.

Tak Hanya di Lampung Timur

Di Florida, Amerika Serikat, badai Hurricane Ian pada 2022 memicu limpasan hingga hampir empat meter, merusak ribuan rumah. Bencana serupa terjadi berulang. Pada Juni 2020, pantai ini juga pernah diterjang gelombang tinggi dan angin kencang. Ini membuktikan bahwa kawasan pesisir Lampung Timur rawan bencana laut yang sifatnya periodik. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, pemerintah daerah dan pusat wajib merumuskan strategi mitigasi yang tidak sekadar reaktif. Studi pemetaan risiko secara komprehensif harus menjadi dasar kebijakan tata ruang, pembangunan infrastruktur, hingga kesiapsiagaan masyarakat. Infrastruktur keras semacam dinding pelindung (storm surge barrier) memang mahal dan tidak selalu layak. Namun, pendekatan semi-keras—seperti penanaman mangrove—terbukti efektif menahan gelombang sekaligus menjaga ekosistem pesisir.

Literasi kebencanaan bagi masyarakat pesisir mutlak dilakukan. Pengetahuan sederhana, seperti membaca tanda-tanda cuaca ekstrem, bisa menyelamatkan nyawa.

Kedua, literasi kebencanaan bagi masyarakat pesisir mutlak dilakukan. Pengetahuan sederhana, seperti membaca tanda-tanda cuaca ekstrem, bisa menyelamatkan nyawa. Penguasa pun mesti konsisten menggunakan sains sebagai dasar pengambilan keputusan. Jangan sampai, seperti dalam film-film bencana, kerugian baru disesali ketika suara ahli diabaikan.

Lampung Timur adalah anugerah pesisir yang rentan. Ancaman storm surge bukan sekadar cerita di buku teks atau tayangan luar negeri. Ia nyata, terjadi di halaman rumah kita. Saatnya berpindah dari sekadar menyalahkan cuaca menuju ikhtiar kolektif memperkuat ketahanan. Karena bencana, sebagaimana sains mengajarkan, hanya menunggu kita lengah untuk unjuk kuasa. (Humas)