Penulis : Rinda Gusvita, S.T.P., M.Sc.
Dosen Program Studi Teknik Industri
Di tengah gelombang kesadaran global akan krisis iklim dan isu lingkungan, tumbler atau botol minum yang dapat digunakan berulang kali telah muncul sebagai ikon penting dari gerakan ramah lingkungan. Tindakan sederhana membawa wadah sendiri untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai seringkali dianggap sebagai bentuk advokasi pribadi terhadap keberlanjutan. Namun, dalam budaya konsumsi modern yang didominasi oleh merek dan gaya hidup, tumbler telah bertransformasi melampaui jati dirinya sebagai barang fungsional. Ia kini menempati ruang yang sama dengan barang mewah lainnya (seperti sepatu, jam tangan, atau tas) di mana nilai simbolis dan status sosial justru yang paling diangkat oleh strategi pemasaran.
Tumbler kini bukan lagi sekadar botol. Merek-merek kenamaan telah berhasil memposisikan tumbler tidak hanya sebagai alternatif ramah lingkungan, tetapi juga sebagai penanda identitas dan status sosial bagi pemiliknya. Melalui desain yang atraktif, edisi terbatas, dan harga premium, tumbler telah diangkat nilainya menjadi objek kapitalisme simbolis. Mereka sudah jadi barang hype, dirilis dalam edisi terbatas, dan harganya sering kali bikin dompet menjerit.
Generasi sekarang kena mental Fear of Missing Out (FOMO) parah. Mereka berbondong-bondong beli tumbler merek tertentu yang lagi viral di TikTok atau Instagram bukan karena butuh, tapi karena ogah dibilang ketinggalan zaman atau unaware. Intinya, tumbler ini dipakai untuk nge-flex (pamer). Tindakan membawa tumbler mahal di coffeeshop atau gym lebih tentang validasi sosial dibanding advokasi lingkungan. Ironi mendalam muncul ketika hasrat konsumsi untuk memiliki tumbler terbaru atau termahal bertentangan dengan prinsip inti lingkungan: mengurangi konsumsi (Princen, 2005). Ketika motivasi utama kepemilikan tumbler bergeser dari fungsionalitas dan kepedulian lingkungan menjadi simbolisme status, maka terjadi kesenjangan antara nilai yang terlihat dan realita perilaku sehari-hari.
Ironi dan Bencana Lingkungan
Apabila penggunaan tumbler hanya sebatas aksesori fashion tanpa diikuti perubahan mendalam, ia berisiko menjadi greenwashing di tingkat personal. Ini adalah sebuah lip service atau omong kosong yang menutupi perilaku konsumtif lainnya. Dalam konteks ini, sisi lain respon warganet terhadap insiden viral seperti tumbler bermerek yang tertinggal di transportasi umum menjadi cerminan nyata bahwa objek tersebut dianggap sebagai barang bermerek namun mudah diganti dan dibeli kembali, bukan barang fungsional yang dijaga.
Tumbler kini bukan lagi sekadar botol. Merek-merek kenamaan telah berhasil memposisikan tumbler tidak hanya sebagai alternatif ramah lingkungan, tetapi juga sebagai penanda identitas dan status sosial bagi pemiliknya.
Padahal, penggunaan tumbler seharusnya menjadi pintu gerbang untuk menghayati advokasi nilai yang lebih tinggi, menghubungkan penggunanya secara sadar dengan dampak dari industri ekstraktif. Tumbler, terlepas dari bahan pembuatannya (plastik, kaca, atau stainless steel), pada dasarnya berasal dari proses ekstraksi sumber daya alam, seperti penambangan bijih logam, minyak, atau pasir (Jahrl, 2023).
Sialnya kasus tumbler ini mencuat di saat yang sama dengan kondisi bencana mulai dari banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat (yang dikaitkan dengan alih fungsi lahan dan deforestasi), disusul oleh banjir di Malang dan Jawa Barat, hingga kenaikan permukaan air laut (rob) yang signifikan di pesisir Jakarta yang merupakan manifestasi nyata dan terkonfirmasi dari krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Kejadian ini meningkatkan kesadaran akan dampak buruk logging dan pertambangan yang berhubungan erat dengan produksi material. Konsumsi yang tidak terkontrol, bahkan untuk produk yang ‘ramah lingkungan’, akan selalu memicu kerusakan lingkungan di hulu.
Inilah momen di mana nilai karbon nol (net-zero carbon) menjadi relevan. Sebuah tumbler, baik murah maupun mahal, memiliki masa pakai minimal yang harus dilampaui agar energi, air, dan bahan baku yang digunakan dalam pembuatannya menjadi setara dengan menghindari penggunaan botol sekali pakai (Cole et al., 2011). Studi Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan bahwa tumbler harus digunakan ratusan hingga ribuan kali, tergantung bahan dan metode produksi, agar jejak karbonnya menjadi lebih baik daripada penggunaan botol PET sekali pakai. Dengan demikian, harga atau merek tidak relevan. Hal yang penting adalah durasi penggunaan dan konsistensi perilaku.
Titik Impas Lingkungan
Terlepas dari mereknya, setiap tumbler (terbuat dari plastik, kaca, atau stainless steel) memiliki jejak karbon awalyang signifikan karena proses industri ekstraktif (penambangan, pengolahan, manufaktur). Agar penggunaan tumbler benar-benar ramah lingkungan, ia harus mencapai Titik Impas Lingkungan (Environmental Break-Even Point) atau masa pakai minimal di mana emisi yang dihemat dari tidak menggunakan botol plastik sekali pakai (CO2 dan energi) setara dengan emisi yang dikeluarkan saat pembuatannya.
Studi Cole et al. (2011) dan Jahrl (2023) memberikan fakta bahwa masa pakai minimal tumbler sangat bervariasi tergantung bahan baku, metode produksi, dan jenis botol sekali pakai yang digantikan. Untuk plastik (baik tritan maupun PP) perkiraan pemakaian minimalnya adalah 10-50 kali. Bahan ini paling cepat mencapai impas karena energi produksinya relative rendah. Lalu bahan kaca dan aluminium perkiraan durasi pemakaian minimalnya adalah 50-150 kali karena membutuhkan lebih banyak energi untuk pemrosesan bahan baku. Selanjutnya bahan yang digadang-gadang mempunyai sifat yang paling aman, baja tahan karat atau stainless stell harus digunakan minimal 150-1.000 kali. Stainless steel memiliki jejak karbon awal tertinggi karena proses penambangan dan peleburan.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa tumbler stainless steel yang mahal, jika hanya digunakan 10 kali lalu hilang atau sekedar dikoleksi, justru lebih merusak lingkungan daripada menggunakan 10 botol plastik sekali pakai. Artinya, selama tumbler mahal hanya menjadi barang koleksi atau status yang mudah diabaikan, ia gagal mencapai titik impas dan hanya menjadi greenwashing di tingkat personal.
Ngomong-ngomong, statemen ini bukan dukungan terhadap Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Penting untuk digarisbawahi bahwa analisis Titik Impas Lingkunganyang dibahas di atas tidak serta merta mendukung anggapan bahwa konsumsi AMDK sekali pakai selalu menjadi opsi yang lebih baik. Angka-angka konkret mengenai masa pakai minimal tumbler di atas hanya berfokus pada perhitungan bahan baku botol, yakni membandingkan jejak karbon dari material yang digunakan untuk membuat tumbler. Pembahasan ini belum menyentuh aspek-aspek krusial lain dalam rantai nilai AMDK yang justru memperburuk masalah lingkungan dan sosial, antara lain: 1) Kegagalan Extended Producer Responsibility (EPR): Hingga kini, banyak perusahaan produsen AMDK belum sepenuhnya mempraktikkan kewajiban EPR secara efektif terkait dengan pengelolaan sampah pasca-konsumsi produk mereka, menyebabkan polusi plastik massal di lingkungan, 2) Eksploitasi Sumber Daya Air: Isu yang lebih besar adalah eksploitasi air itu sendiri. Proses pengambilan air dari mata air atau air tanah untuk dikemas berpotensi serius merusak ekosistem lokal, mengurangi debit air alami, dan membatasi akses warga sekitar terhadap sumber air bersih, 3) Transportasi dan Distribusi: Analisis LCA yang lengkap untuk AMDK juga harus mencakup jejak karbon dari transportasi air dalam kemasan dari pabrik ke konsumen, yang seringkali jauh lebih besar daripada jejak karbon botol tumbler yang hanya dibeli sekali.
Agar penggunaan tumbler benar-benar ramah lingkungan, ia harus mencapai Titik Impas Lingkungan (Environmental Break-Even Point) atau masa pakai minimal di mana emisi yang dihemat dari tidak menggunakan botol plastik sekali pakai (CO2 dan energi) setara dengan emisi yang dikeluarkan saat pembuatannya.
Oleh karena itu, argumen dalam tulisan ini adalah kritik terhadap perilaku konsumtif yang berlebihan terhadap tumbler, bukan pembenaran terhadap praktik bisnis AMDK yang eksploitatif dan belum bertanggung jawab. Penggunaan tumbler yang konsisten tetap merupakan tindakan yang secara fundamental lebih baik, asalkan dilakukan dengan kesadaran akan tanggung jawab pemakaiannya.
Tumbler dapat menjadi pengingat harian (sebuah “pengait” perilaku) akan isu global seperti perubahan iklim dan bencana alam yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan. Namun, simbolisme ini harus berjalan seiring dengan realita untuk mengurangi konsumsi secara umum, merawat barang yang dimiliki, dan mendasarkan perilaku pada etika ekologis yang lebih dalam, bukan sekadar fashion statement. Selama nilai yang disimbolkan sejalan dengan perilaku sehari-hari, yaitu mengurangi, menggunakan kembali secara konsisten, dan menghayati keterbatasan sumber daya, maka tren tumbler dapat melampaui ironinya dan benar-benar berkontribusi pada advokasi lingkungan yang bermakna. Jika tidak, ia hanya akan menjadi green consumerism yang hampa, sekadar omong kosong (bullshit) yang dibalut merek.
Dengan mengaitkan hebohnya kejadian tumbler yang tertinggal di kereta dengan kenyataan bencana di berbagai wilayah di Indonesia, kita melihat kesenjangan moral yang besar. Sementara kita sibuk dengan simbol status yang mudah hilang hingga mengharuskan instansi besar mengambil tindakan cepat, alam justru sedang mengirimkan sinyal bahaya yang nyata. Kepedulian atas bencana alam ini menuntut agar tumbler bukan hanya menjadi aksesoris, tetapi menjadi objek yang mengingatkan kita untuk hidup dengan lebih bertanggung jawab, lebih sedikit mengonsumsi, merasa cukup, dan lebih menghargai sumberdaya yang terbatas.
Referensi:
- Cole, C., et al. (2011). Life Cycle Assessment of Refillable and Single-Use Water Bottles. Jurnal: International Journal of Life Cycle Assessment.
- Jahrl, I. (2023). Sustainability Assessment of Reusable and Single-use Beverage Bottles: A Review of Life Cycle Studies. Jurnal: Environmental Sciences Europe, 35(1).
- Princen, T. (2005). The Logic of Sufficiency. MIT Press.

