ITERA NEWS – Menyikapi meningkatnya ancaman bencana di Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya, Institut Teknologi Sumatera (Itera) menggelar diskusi publik bertajuk Peran Rekayasa dan Sains dalam Mengurangi Risiko Bencana. Kegiatan ini menghadirkan pakar dari dalam dan luar negeri sebagai upaya merumuskan strategi mitigasi bencana berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Diskusi yang berlangsung di Aula Gedung Kuliah Umum 1 Itera tersebut menghadirkan Dr. Bagus Muljadi dari University of Nottingham, Inggris, serta Guru Besar Pengurangan Risiko Bencana dalam Perencanaan Pembangunan Itera, Prof. Ir. Harkunti Pertiwi Rahayu, Ph.D., sebagai pemantik diskusi. Kegiatan ini juga diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pimpinan dan akademisi perguruan tinggi di Lampung, perwakilan BMKG, Perumdam, hingga organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang lingkungan dan konservasi, seperti Yayasan Konservasi Way Seputih, Wanacala, Rumah Kolaborasi Nusantara, serta kelompok tani.
Rektor Itera yang diwakili Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum, Ir. Arif Rohman, S.T., M.T., menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan tindak lanjut dari rangkaian dialog Itera bersama pemerintah kota dan Provinsi Lampung melalui Bappeda. Menurutnya, persoalan bencana hidrometeorologi di Sumatera merupakan tantangan bersama yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor.
“Masalah bencana tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Diperlukan ruang diskusi bersama untuk merumuskan rekomendasi pencegahan dan penanganan bencana yang komprehensif,” ujar Arif.
Masalah bencana tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Diperlukan ruang diskusi bersama untuk merumuskan rekomendasi pencegahan dan penanganan bencana yang komprehensif
Ia menambahkan, BMKG saat ini telah menyampaikan peringatan terkait keberadaan tiga sistem siklon tropis yang berpotensi meningkatkan cuaca ekstrem dan risiko bencana hidrometeorologis di Indonesia. Salah satu di antaranya, Siklon Bakung, berkembang di wilayah barat daya Lampung. “Diskusi ini penting untuk membahas mitigasi. Kampus juga sedang terlibat aktif berkontribusi dalam upaya pengurangan risiko bencana di Sumatera. Harapannya, ketika bencana terjadi, kita sudah lebih siap, meskipun tentu kita tidak menginginkannya,” kata Arif.
Riset Interdisipliner
Dalam pemaparannya, Dr. Bagus Muljadi menyoroti pentingnya riset interdisipliner dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan global. Ia menjelaskan bahwa kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci untuk menghasilkan solusi ilmiah yang tidak hanya kuat secara akademik, tetapi juga berdampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan.
Dr. Bagus juga menekankan peran perguruan tinggi dalam mitigasi risiko bencana melalui pendekatan riset. Menurutnya, riset tidak hanya berfokus pada penanganan pascabencana, tetapi harus menjadi bagian dari upaya mitigasi sejak tahap perencanaan.
Sementara itu, Prof. Ir. Harkunti Pertiwi Rahayu, Ph.D., menegaskan pentingnya penerapan manajemen risiko bencana untuk mengurangi dampak dan korban jiwa. Ia menyampaikan bahwa manajemen risiko bencana harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dengan memahami komponen risiko secara utuh. “Risiko bencana merupakan fungsi dari ancaman bahaya, kerentanan, keterpaparan, dan kapasitas. Upaya pengurangan risiko dilakukan dengan menekan kerentanan dan keterpaparan, sekaligus meningkatkan kapasitas,” jelas Prof. Harkunti.
“Risiko bencana merupakan fungsi dari ancaman bahaya, kerentanan, keterpaparan, dan kapasitas. Upaya pengurangan risiko dilakukan dengan menekan kerentanan dan keterpaparan, sekaligus meningkatkan kapasitas”
Ia mencontohkan bencana gempa bumi yang memiliki tingkat ketidakpastian tinggi, sehingga membutuhkan pendekatan lintas keilmuan. Dampak gempa terhadap bangunan, misalnya, memerlukan peran keilmuan teknik sipil, sementara bencana siklon tropis berkaitan dengan ilmu kelautan, lingkungan, dan sosial.
Prof. Harkunti juga menyinggung peristiwa Siklon Seroja pada 2021 sebagai pelajaran penting, mengingat fenomena siklon tropis umumnya jarang terjadi di wilayah tropis. Menurutnya, perkembangan teknologi memungkinkan prediksi bencana dilakukan lebih dini, terutama melalui pembangunan sistem peringatan dini (early warning system).
“Kapasitas dalam menghadapi bencana harus terus ditingkatkan. Mengurangi risiko bukan pilihan, melainkan kewajiban dalam penanggulangan bencana,” ujarnya.








