Tsunami Selat Sunda Diduga Akibat Longsor Bawah Laut Setelah Erupsi Gunung Anak Krakatau

Print Friendly, PDF & Email

ITERA NEWS-Kompleks krakatau berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kompleks Krakatau terdiri dari 4 pulau yatu Rakata, Sertung, Panjang dan Anak Krakatau. Pulau Sertung dan Panjang merupakan sisa – sisa dari caldera yang terbentuk setelah ledakan erupsi besar Krakatau purba pada tahun 416 AD. Data pada tahun ini tidaklah selengkap sekarang sehingga para peneliti mencoba untuk melakukan pelacakan ledakan Krakatau pada tahun tersebut. Pulau Rakata merupakan bagian dari Pulau Krakatau yang erupsi pada tahun 1883. Pada tahun 1927, terjadi erupsi disekitar selat sunda yang diduga sebagai aktivitas dari Gunung Krakatau. Pada tahun ini diduga sebagai awal kemunculan Gunungapi Anak Krakatau. Pada tanggal 11 Juni 1930, Gunungapi Anak Krakatau muncul dengan ketinggian 180 m dari permukaan laut. Berdasarkan penilitan yang dilakukan oleh Hoffmann – Rothe pada tahun 2006, Gunungapi Anak Krakatau memiliki elevasi 315 meter dengan laju pertumbuhan berkisar 7.5 centimter per minggu atau sekitar 4 meter per tahun. Berdasrkan data PVMBG sejak kemunculan Gunungapi Anak Krakatau pada tanggal 11 Juni 1927 hingga 2011, telah mengalami aktivitas erupsi lebih dari 100 kali baik bersifat eksplosif maupun efusif, dengan pola aktivitas yang belum teratur. Vulkanolog asal ITB, Dr. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., mengatakan bahwa mulai tahun 2008 hingga sekarang aktivitas gunungapi Anak Krakatau tercatat mulai teratur setiap 2 tahun sekali. Erupsi eksplosif merupakan jenis letusan gunung api yang menyemburkan material vulkanik ke udara baik itu berupa lava pijar, batu kerikil dan debu vulkanik sedangkan erupsi efusif merupakan lletusan yang terjadi dimana lava pijar keluar berupa lelehan dari gunungapi.
Pertanyaannya adalah kenapa Gunungapi Anak Krakatau selalu aktif ?
Indonesia merupakan negara yang dikelilingi oleh gunungapi. Gunungapi ini muncul dikarenakan adanya tumbukan antara dua buah lempeng di bumi Tumbukan lempeng dibawah permukaan bumi menyebabkan batuan mengalami lelehan dan berubah menjadi magma dengan temparatur dan tekanan yang tinggi. Seiring waktu, akibat tekanan yang tinggi, magma bergerak melalui rekahan di bawah permukaan bumi dan mendesak ke permukaan sehingga terbentuklah gunung api. Proses ini terus berlanjut menyebabkan gunung api memiliki tekanan yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas vulkanik di gunung api.
Gunungapi Anak Krakatau berada di zona subduksi sehingga perut gunungapi ini selalu terisi oleh magma baru dari bawah permukaan bumi yang menyebabkan aktivitas Gunungapi Anak Krakatau tinggi. Tidak hanya itu, berdasarkan penelitian Vulkanolog asal ITB Dr. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T. , Gunungapi Anak Krakatau terindikasi memiliki jalur yang menghubungkan antara zona subduksi pada kerak bumi (lithosphere 10 – 200 Km) dengan mantel bumi bagian atas (kedalaman 400 Km).
Apa penyebab terjadinya tsunami pada tanggal 22 Desember 2018?
Berdasarkan data PVMBG, pada tanggal 22 Desember 2018 teramati aktivitas letusan dengan tinggi asap berkisar 300 – 1500 meter di atas puncak kawah. Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, kemudian tidak lama berselang terdapat info tsunami. Badan Meterologi dan Geofisika (BMKG) memastikan bahwa penyebab tsunami bukanlah gempa tektonik seperti kasus-kasus tsunami yang umumnya terjadi. Satu-satunya aktifitas geologi yang sedang berlangsung yang dapat berpotensi sebagai penyebab tsunami adalah aktivitas Gunungapi Anak Krakatau yang memang sedang aktif.
Erupsi Gunungapi Anak Krakatau adalah erupsi bertipe Strombolian, yang indeks eksplositivitasnya kecil, hanya berkisar 2-3 dari maksimum skala 7. Dilihat dari erupsi dan material erupsi yang dikeluarkan oleh Anak Krakatau, adalah terlalu kecil untuk menyebabkan tsunami. Akan tetapi, erupsi ini berpotensi menyebabkan longsoran dari badan tubuh kaldera Gunungapi di bawah permukaan laut, di mana massa dari longsoran tersebut mengakibatkan perpindahan massa air laut yang bergerak sebagai tsunami.
Berdasarkan hasil citra satelit yang diperoleh BPPT, terlihat adanya perubahan morfologi pada Pulau Gunungapi Anak Krakatau pada bagian barat yang diindikasi sebagai zona longsoran. Namun, untuk mengetahui secara pasti kejadian ini maka diperlukan investigasi lebih lanjut.
Kemudian, berkaca pada sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, Indonesia saat ini belum meiliki sistem peringatan dini tsunami akibat erupsi gunung api dan longsoran bawah laut. Hal ini menjadi penyebab kejadian tsunami pada tanggal 22 Desember 2018 lalu lolos dari sistem deteksi tsunami milik BMKG. Saat ini, menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, sistem peringatan dini tsunami milik BMKG hanya untuk tsunami yang diakibatkan oleh gempa saja. Sistem tersebut mampu mengeluarkan peringatan dini tsunami dengan cepat setelah gempa terjadi.

Bagaimana penanggulangan bencana geologi agar tidak selalu memakan banyak korban?
Cara yang paling utama tentunya adalah pendidikan dan peningkatan pengetahuan tentang mitigasi kebencanaan pada masyarakat. Pendidikan tentang mitigasi kebencanaan perlu ditanamkan kepada masyarakat, terutama kesadaran bahwa kita tinggal di daerah yang rawan bencana geologi, baik gempa bumi, erupsi gunung api, tanah longsor, dan tsunami. Dengan pemahaman yang benar, masyarakat akan tidak mudah panik ketika terjadi bencana. Prosedur-prosedur evakuasi yang dilakukan oleh pemerintah akan dapat berlangsung efektif ketika masyarakat dapat bekerja sama dengan baik.
Faktor berikutnya adalah sistem peringatan dini, khususnya pada sistem peringatan dini tsunami, meski sistem deteksi dini tsunami di Indonseia mampu dengan cepat menentukan apakah kejadian gempa berpotensi tsunami atau tidak, namun kejadian tsunami kemarin (22 Desember 2018) di Selat Sunda tidak terdeteksi. Hal itu karena BMKG tidak mendeteksi adanya kejadian gempa sebelumnya. Kejadian tersebut memperkuat hipotesis bahwa tsunami di Selat Sunda kemarin akibat longsor bawah laut akibat erupsi Gunungapi Anak Krakatau.

UPT Meterorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG) ITERA

Tinggalkan Balasan