Diskusi Kebencanaan UPT MKG ITERA Bahas Masalah Perubahan Iklim Hingga Aktivitas Gunung Api
[:id]Diskusi kebencanaan online Unit Pelaksana Teknis (UPT) Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (MKG) ITERA, Sabtu (16/5/2020)[:]

Diskusi Kebencanaan UPT MKG ITERA Bahas Masalah Perubahan Iklim Hingga Aktivitas Gunung Api

  • Post author:
  • Post category:Berita
Print Friendly, PDF & Email

ITERA NEWS. Diskusi kebencanaan dalam jaringan (online) yang diadakan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (MKG) Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Sabtu (16/5/2020) membahas seputar bencana akibat perubahan iklim, hingga aktivitas gunung api di Indonesia. Diskusi tersebut tidak hanya diikuti oleh mahasiswa ITERA tetapi juga mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi nasional seperti Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Universitas Prisma, Manado, STKIP Al Hikmah Surabaya, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Lampung.

Mengangkat tema Perubahan iklim dan aktivitas gunung api di awal tahun 2020, kegiatan tersebut diisi oleh dua pemateri yaitu Kepala UPT MKG ITERA Drs. Zadrach L. Dupe, M.Si., yang membahas seputar masalah perubahan iklim dan dosen Program Studi Teknik Geofisika ITERA Erlangga Ibrahim Fattah, S.Si, M.T. menjelaskan aktivitas gunung api di awal tahun 2020.

Pada pembahasan materi Perubahan iklim, Drs. Zadrach L. Dupe, M.Si., menyebut banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Dampak perubahan iklim secara langsung dirasakan melalui berbagai perubahan seperti musibah kekeringan, hujan berlebihan, badai/taifun yang makin kuat, hingga muka air laut yang semakin naik dan adanya pengaruh dari arus thermohaline.

Zadrach, menerangkan arus thermohaline merupakan arus laut yang diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu atau salinitas (kadar garam) air laut di suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut menyebabkan  perubahan densitas (kerapatan) massa air laut sehingga menimbulkan pergerakan.

Pada diskusi tersebut juga dibahas mengenai efek thermohaline di Indonesia. Salah satunya adalah surface flow, yakni jenis arus yang melewati wilayah Indonesia. Pengaruh dari surface flow pada arus thermohaline adalah perubahan kondisi suhu dan muka rata rata permukaan laut di Indonesia.

Thermohaline sangat berpengaruh terhadap iklim di Bumi, fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi dengan intensitas yang tinggi diperkirakan akibat melambatnya laju thermohaline yang disebabkan oleh pemanasan global.

Sirkulasi thermohaline yang terjadi secara global ini sangat mempengaruhi kehidupan di Bumi dan memberikan banyak manfaat. Di daerah lintang tinggi, thermohaline membawa massa air hangat dari ekuator yang membantu mengurangi dinginnya suhu udara disana. Di daerah ekuator, thermohaline membawa massa air laut dalam yang kaya akan nutrien dan mineral yang membantu pertumbuhan alga dan plankton.

Selain itu thermohaline juga berperan penting dalam siklus karbon lautan. Thermohaline sangat berpengaruh terhadap iklim di Bumi, fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi dengan intensitas yang tinggi diperkirakan akibat melambatnya laju thermohaline yang disebabkan oleh pemanasan global.

Guna meminimalisir dampak negatif dari perubahan iklim, Zadrah menyarankan agar masyarakat dapat bersahabat dengan alam, dengan menjaga lingkungan, tidak membuang sampah plastik sembarangan, menghemat pemakaian energi serta melakukan penghijauan di sekitar tempat kita tinggal.

Di akhir materi, Zadrah juga menyampaikan dampak dari fenomena perubahan iklim lainnya adalah peningkatan suhu udara di bumi yang menjadi lebih stabil.

Erupsi Gunung Api

Dalam diskusi selama 90 menit tersebut juga dibahas seputar fenomena peningkatan aktivitas gunung api yang terjadi di awal tahun 2020. Erlangga Ibrahim Fattah, S.Si, M.T menjelaskan gunung api di Indonesia yang mengalami peningkatan aktivitas dengan terjadinya erupsi serta pengaruh fenomena supermoon terhadap hal tersebut.

“Berdasarkan data ketika adanya fenomena Supermoon ditemukan adanya peningkatan aktivitas gunung api, namun hal ini masih perlu adanya kajian ulang untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan masif,” ujar Erlangga.

Menurut Erlangga, korelasi tersebut juga sudah diteliti oleh John Vidale seorang ahli seismologi dari Washington University, yang menyebutkan bahwa selama periode fase bulan penuh ditemukan adanya potensial sebesar 1% yang mengakibatkan kenaikan aktifitas gunung api di dunia. Terkait hal tersebut, menurut Erlangga perlu adanya kajian yang serius dalam membuktikan secara ilmiah hipotesis itu. [Humas]