Bisnis Model dalam Investasi Kereta Cepat dan Jalan Tol

Bisnis Model dalam Investasi Kereta Cepat dan Jalan Tol

Print Friendly, PDF & Email

Oleh:  Dr. eng. Ir. IB Ilham Malik.

Dalam bisnis transportasi, para pengusaha tidak bisa melihat sisi bisnis transportasi hanya dari bisnis angkutannya saja. Kalau hanya melihat dari sisi perangkutannya, maka sudah pasti para pengusaha ini akan bicara soal tarif, dan berapa lama mendapatkan pengembalian modalnya dari besaran tarif yang mereka kenakan kepada calon penumpang atau pengguna transportasi yang mereka pindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan sarana dan prasarana yang mereka sudah siapkan.

Padahal yang namanya transportasi, bukan hanya soal memindahkan orang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Sehingga bisnisnya bukan soal memindahkan orang/barang dari satu tempat ke tempat yang lain saja, yang kemudian orang/barang itu dikenakan biaya tertentu. Sebab transportasi itu adalah sebuah sistem. Mulai dari dimana orang/barang itu berada, dikumpulkan atau ditampung dimana, diangkat/dipindahkan dengan alat apa, lalu baru diangkut ke tempat yang dituju, yang mana di dalamnya ada ada berbagai macam kegiatan lainnya yang dapat digunakan sebagai konversi atas biaya transportasinya.

Sebagai contoh adalah, investasi kereta api cepat yang dibangun oleh KCIC. Perusahaan harusnya tidak mengandalkan pengembalian biaya investasinya dari sekedar pengenaan tarif angkutan kepada para penumpangnya. Mereka harus bisa melihat bisnis lain yang melingkupi transportasi itu sendiri. Misalnya, mereka bisa menjadikan stasiun sebagai komersial area yang menjadi tempat transaksi berbagai macam kegiatan komersial, yang pada akhirnya dapat menambah pendapatan bagi KCIC.

Semakin banyak stasiun yang bisa dijadikan sebagai commercial area (TOD), maka akan semakin banyak juga pendapatan yang dapat diperoleh oleh KCIC. Apalagi jika kemudian KCIC bekerja sama atau membangun bisnis transportasi darat. Sehingga transportasi darat yang mereka kembangkan bisa menghubungkan masyarakat dari berbagai area yang masuk dalam zona layanan dan bisnis KCIC. Hal ini akan membuat semakin banyak jumlah masyarakat yang terakses oleh kereta cepat dan fasilitas komersial di daerah stasiun yang mereka kelola. Dan ini berarti akan semakin banyak uang yang berputar di area kawasan stasiun dan koridor kereta cepat. Maka akan semakin besar juga potensi pendapatan diperoleh KCIC.

Jadi KCIC bukan mendapatkan uang atau pengembalian biaya investasi mereka dari tarif yang dikenakan kepada penumpang. Tetapi KCIC akan mendapatkan pengembalian modalnya dari bisnis yang melingkupi transportasi kereta api cepat. Itulah sebabnya, saya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya pengembangan kereta api cepat ini juga sangat potensial dan menguntungkan bagi banyak pihak, terutama bagi pemilik konsesi pengembangan kereta api cepat. Tetapi apakah mereka ini melihat potensi tersebut ataukah tidak? Apakah mereka juga memasukkan skema bisnis ini dalam proposal mereka atau tidak?

Saya kira mereka seharusnya melihat ini dalam bentuk pengembangan bisnis transportasi secara holistik. Mereka tidak bisa hanya melihat bisnis transportasi soal memindahkan orang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain saja dan kemudian para penggunanya itu membayar biaya tertentu. Pola pikir bisnis semacam itu adalah pola pikir bisnis tradisional. Seperti yang kita tahu bahwa dalam sistem transportasi ada begitu banyak elemen kegiatan yang bisa dilihat sebagai potensi pendapatan baru bagi investor di sektor transportasi. Harusnya para investor infrastruktur transportasi bisa melihatnya dari sisi seperti itu juga.

Kalau misalnya pihak investor kita anggap sebagai pihak yang tidak bisa melihat peluang peluang dalam pengembangan bisnis seperti yang memang dikonsepsikan dalam pengembangan bisnis transportasi, maka sudah seharusnya dalam dokumen perencanaan pengembangan kereta api cepat yang akan dibangun di Jakarta – Bandung ini, ada arahan pengembangan bisnis model lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan sistem transportasi kereta api cepat. Sehingga, ketika kita melihat biaya investasinya menjadi Rp 80 T – Rp 100 T, bisa menjadi terbandingkan dengan berapa uang yang bisa didapat dari pengembangan kawasan yang ada di sekitar kereta api cepat.

Berbagai macam negara yang mengembangkan kereta api cepat, atau sistem perkeretaapian jenis lainnya, tidaklah mengembangkan bisnis model yang sederhana. Mereka mengembangkan suatu sistem model bisnis yang kompleks, tetapi bisa mendapatkan pendapatan yang bervariasi dari bisnis model kompleks tersebut. Dan pada akhirnya, bisa mendapatkan pendapatan yang memadai untuk digunakan menutup biaya investasi bisnis transportasi seperti kereta api cepat yang memang membutuhkan biaya besar.

Saya membayangkan, semua pihak itu bisa melihat bisnis transportasi dalam suatu bentuk sistem bisnis model transportasi. Kalau ini bisa dibawa ke sisi itu maka pengembangan sektor transportasi tidak lagi sectoral, dan tidak lagi sesederhana seperti yang terjadi pada saat ini. Bisnis model seperti yang terjadi pada saat ini membuat para pengembang atau investor di sektor transportasi selalu merasa merugi. Karena mereka hanya bicara soal tarif memindahkan orang dari satu tempat ke tempat yang lain sebagai sumber pengembalian biaya investasi mereka. Sementara, kalau kita terapkan tarif tertentu dengan tidak memperhatikan WTP dan ATP-nya, maka pada akhirnya bisa menimbulkan polemik di masyarakat dan pengguna bisa menurun. Dan ini bisa menurunkan waktu pengembalian biaya investasinya.

Karena itu, persoalan investasi kereta api cepat ini jangan hanya dilihat dari sisi berapa biaya konstruksi pembangunan kereta api cepat. Tetapi kita harus bisa melihat berapa pemasukan yang bisa diraih oleh KCIC ketika mereka mengembangkan kereta api cepat dan bisnis model yang melingkupinya. Misalnya, berapa yang bisa mereka peroleh dari pengembangan TOD di kawasan stasiun, pengembangan kawasan permukiman dan kota mandiri yang berada di sekitarnya, serta juga berapa pemasukan yang bisa mereka dapatkan dari bisnis model lain yang berkaitan dengan kereta api cepat.

Detailnya tentu memang harus dibuatkan oleh KCIC dan kementerian terkait. Tetapi pada prinsipnya, model bisnis perlu dilihat dari sistem transportasi-nya. Kesisteman dalam transportasi ini yang hendaknya dibuatkan model bisnis dan semua berada dalam pengelolaan KCIC. Sebab kalau KCIC tidak mengelola bisnis dalam sudut pandang kesisteman transportasi maka sudah pasti KCIC akan melihat sisi bisnisnya hanya dari besaran tarif dan untung rugi dari pembangunan konstruksi dan non konstruksi kereta cepat saja. Sementara bisnis model yang bisa muncul akibat adanya transportasi itu, bukan mereka yang mengelolanya dan bukan bagian dari sistem model bisnis yang mereka bangun dalam projek kereta cepat.

Pada akhirnya mereka tidak mendapatkan benefit dan juga tidak mendapatkan pemasukan lain selain hanya dari tarif. Kalau pengembangan transportasi hanya mengandalkan tarif semata yang diharapkan menjadi pemasukan untuk mengembalikan biaya investasi, rasanya pola pikir semacam itu terlalu sederhana. Mereka harus bicara soal bisnis model yang bisa mereka dapatkan dari pengembangan sistem transportasi itu sendiri. Dan ini berlaku bukan hanya untuk kereta api cepat Jakarta-Bandung, tetapi juga termasuk berlaku untuk pengembangan jalan tol.

Pendekatan bisnis model dalam sistem transportasi harus mulai dikembangkan dan dijalankan oleh para investor sektor transportasi jika mereka ingin bertahan dan cepat mengembalikan biaya investasi yang telah mereka tanamkan. Detail bisnis modelnya, silahkan para ahli dan pelaku bisnis bisa diajak membuat dan menerapkannya bisnis dalam sistem transportasi di Indonesia. Sementara pemerintah, membuatkan pedoman dan regulasinya. Semangat membangun infrastruktur ini harus terus dijaga dengan terus menyempurnakan tiap elemen yang melingkupinya.

OPINI: Pusat Riset dan Inovasi Infrastruktur Berkelanjutan ITERA1