Mimpi Kaum Langit, Menanti Kebangkitan Observatorium di Indonesia

Mimpi Kaum Langit, Menanti Kebangkitan Observatorium di Indonesia

Print Friendly, PDF & Email

Penulis : Achmad Zainur Rozzykin, S.Si., M.Si.
Peneliti Observatorium Astronomi Itera Lampung/ Dosen Sains, Atmosfer, dan Keplanetan Itera

OPINI ITERA – Memasuki abad ke-21, astronomi memasuki era baru yang ditandai dengan cahaya pertama yang menembus gelapnya semesta. Di pertengahan tahun 2025 ini, Vera Rubin Observatory (VRO)—sebuah fasilitas survei langit mutakhir di Cerro Pachón, Chile—berhasil menangkap cahaya pertamanya. Momen yang oleh para astronom dijuluki “first light” ini tentunya disambut antusias oleh komunitas ilmiah global utamanya para astronom. Bagaimana tidak? Momentum ini akan membuka lebar singkap alam semesta. Riset mengenai misteri kosmologi seperti galaksi dan materi gelap hingga objek langit terdekat seperti asteroid dekat Bumi akan mendapatkan fasilitas terbaik.

Di Indonesia, antusiasme semacam ini harusnya menjadi alarm pengingat akan langit nusantara yang luas serta privilese wilayah tropis yang strategis dalam survei langit serupa. Langit gelap Indonesia tentunya layaknya ladang yang masih mentah dan memendam sejuta potensi yang belum tergarap. Dengan posisi serta sumber daya manusia yang dimilikinya, Indonesia memiliki peluang besar untuk turut membangun observatorium astronomi berkelas dunia.

Tugas utama yang diemban VRO ialah melakukan Legacy Survey of Space and Time (LSST). Sampai sekarang, LSST ini bisa dikatakan sebagai sarana survei langit terlengkap yang pernah direncanakan. Dibekali dengan kamera 3,2 gigapiksel, langit seluas tujuh kali bulan purnama bisa direkam sekali jepret dalam jangka waktu 15 detik sekali. Dalam semalam, fasilitas ini akan menelurkan citra semesta yang setara dengan hampir 15 terabyte. Implikasi sains yang dihasilkan tentu sangat luas: dari deteksi ribuan asteroid dekat Bumi (NEA), pengamatan bintang variabel, hingga misteri materi gelap. Data yang dipublikasikan bagi umum tentunya dapat disebarluaskan dan dimanfaatkan oleh ilmuwan di seluruh dunia.

Momentum ini patutnya menjadi trendsetter infrastruktur serupa di kawasan lain—termasuk Indonesia—untuk memperkaya data pengamatan global. Pada konteks yang lebih spesifik, data yang diperkaya akan juga membantu kita dalam memitigasi ancaman antariksa dengan memperbaiki model orbit asteroid berbekal data mutakhir dari LSST. Tercatat dalam 10 jam pertamanya, VRO mampu menemukan lebih dari 2000 asteroid anyar. Dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi, pengembangan instrumen semacam ini tentunya akan mendorong inovasi teknologi dalam negeri mengingat teknologi yang dikembangkan juga bukan kaleng-kaleng.

Kita perlu berbangga hati karena kini kita sudah memiliki puluhan observatorium yang tersebar dari institusi riset, kampus, hingga pesantren. Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL) yang dimiliki Institut Teknologi Sumatera (Itera) di Lampung Selatan, Provinsi Lampung, adalah salah satunya

Kini kita membicarakan mengenai privilese Indonesia secara astronomis yang belum banyak diketahui orang. Wilayah Indonesia yang memanjang dari Sabang sampai Merauke seluruhnya berada di sekitar garis khatulistiwa. Posisi ini tidak hanya strategis dalam jalur pelayaran tetapi juga dalam pengamatan astronomi. Karena letaknya ini, kita sebagai penduduk Indonesia dapat dengan mudah mengamati hemisfer langit utara dan selatan secara bersamaan. Tentunya berbeda dengan rekan kita di Amerika Serikat, Eropa, ataupun Australia yang hanya menatap salah satu hemisfer, bergantung pada lokasi geografisnya masing-masing. Sayangnya, privilese ini tidak didukung dengan fasilitas astronomi yang memadai. Saat ini teleskop terbesar di Indonesia berada di Observatorium Bosscha dengan teleskop refraktor ganda Zeiss dengan diameter 0,6 meter. Segera, kita akan mempunyai teleskop yang lebih besar, yaitu teleskop 3,8 meter yang sedang dibangun di Observatorium Nasional Timau, Nusa Tenggara Timur. Jika dibandingkan dengan teleskop 8,4 meter milik VRO tentunya posisi kita masih belum sepadan.

OAIL Itera

Kita perlu berbangga hati karena kini kita sudah memiliki puluhan observatorium yang tersebar dari institusi riset, kampus, hingga pesantren. Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL) yang dimiliki Institut Teknologi Sumatera (Itera) di Lampung Selatan, Provinsi Lampung, adalah salah satunya. Astronomi Indonesia tidak lagi berpusat di Bosscha sebagai ‘ibukota’ tetapi sudah menyebar ke seluruh penjuru nusantara. Akan tetapi, jaringan observatorium ini belum terintegrasi secara real-time. Meskipun inisiasi melalui komunitas seperti Jaringan Observatorium dan Planetarium Indonesia (JOPI) sudah mulai bergerak, setiap observatorium masih berjalan masing-masing dan belum ada koordinasi yang terintegrasi yang menyatukan puluhan observatorium yang berserak ini. Kemampuan teknologi kita juga belum mendukung kebutuhan infrastruktur big data astronomi secara mandiri sehingga untuk keperluan ini kita masih bertumpu pada teknologi luar.

Apabila kendala-kendala ini teratasi dan observatorium secanggih VRO ada di Indonesia, buah manfaat yang dapat dipetik tidak hanya sekadar menjadi ajang gagah-gagahan. Data mutakhir dipadukan dengan sumber daya yang mumpuni akan menjadi awalan akselerasi sains dan teknologi di negeri ini. Mulai dari mempercepat deteksi dini terhadap ancaman objek luar angkasa, memantik inovasi di bidang optik, instrumentasi, serta data science, hingga meningkatkan literasi publik melalui kegiatan observasi langit maupun inisiasi citizen science—proyek sains yang melibatkan masyarakat secara langsung.

Tak banyak yang menyadari bahwa dua dari delapan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Astacita dapat didukung dengan pengembangan observatorium.

Tak banyak yang menyadari bahwa dua dari delapan misi pembangunan nasional yang tertuang dalam Astacita dapat didukung dengan pengembangan observatorium. Observatorium berkelas dunia tentunya akan menunjukkan penguasaan sains, teknologi, dan inovasi. Manusia tentunya juga merupakan jantung dari sebuah observatorium. Apalah artinya observatorium canggih tanpa manusia yang mengoperasikan dan mengembangkannya.

Untuk menjawab kebutuhan tenaga ahli ini tentunya kita perlu melakukan pelatihan bagi astronom, teknisi, dan analis data. Sumber daya yang terlatih adalah sumber daya yang unggul dan modal bagi perkembangan sains di Indonesia.

Perkembangan astronomi memang terkesan sebagai bahasa ‘kaum langit’, tetapi manfaat nyata juga dapat dirasakan oleh ‘kaum bumi’. Riset mengenai iklim contohnya. Sebagai informasi, atmosfer Bumi yang kita anggap sebagai pelindung itu sesungguhnya adalah musuh dalam selimut bagi astronom. Partikel di atmosfer akan menyerap cahaya dari bintang dan mengurangi informasi yang kita peroleh. Akan tetapi, dari observasi langit malam kita juga dapat melakukan pemantauan atmosfer secara simultan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali menengok ke langit malam, kita dapat memperoleh informasi mengenai benda langit sekaligus karakteristik atmosfer.

 

Dua instrumen utama milik OAIL: Itera Robotic Telescope/IRT (kiri) dan Teleskop Robotik OZT-ALTS (kanan). (Sumber: Observatorium Astronomi Itera Lampung)

Tanggal 30 Juni telah ditetapkan oleh PBB sebagai Asteroid Day yang kini diperingati setiap tahun. Tanggal ini dipilih untuk mengenang Peristiwa Tunguska yang terjadi di tanggal yang sama pada tahun 1908. Ledakan asteroid berukuran kira-kira 60 meter pada ketinggian 5 hingga 10 meter di atas hutan Tunguska, Siberia. Sekilas tak nampak berbahaya, tetapi ledakan tersebut dikatakan setara dengan hingga 30 megaton TNT. Dampaknya juga bukan main-main. Sekitar 2000 km2 area hutan di pusat episentrum ledakan tumbang dan membuatnya rata dengan tanah. Luas ini diperkirakan sama dengan tiga kali luas Kota Jakarta. Peringatan ini dimaksudkan untuk menjadi ajang peningkatan literasi risiko dampak kerusakan akibat asteroid.

Keberadaan observatorium tentunya tidak bisa dilepaskan dari peringatan ini. OAIL secara rutin menyelenggarakan kegiatan-kegiatan terkait setiap tahunnya. Kegiatan yang dilakukan pun beragam, dari workshop, seminar, hingga pengamatan asteroid secara virtual. Luaran yang diharapkan tentunya agar masyarakat semakin melek tentang asteroid, keindahan, dan ancamannya. Di luar rangkaian kegiatan Asteroid Day, OAIL juga rutin melakukan pengamatan asteroid menggunakan teleskop robotik. Pengamatan rutin ini juga bagian dari upaya memahami asteroid dengan lebih baik dan tentunya memantau langit untuk mendeteksi potensi bahaya. Melalui pengamatan ini, OAIL berhasil mendapatkan data dari berbagai objek dekat Bumi seperti 2011 UL21 serta objek kenamaan lain seperti Vesta, Metis, Irene, Eunomia, Eurynome, Psyche, dan lain-lain termasuk komet seperti C/2023 A3 (Tsuchinshan-ATLAS), C/2022 E3 (ZTF), dan C/2020 F8 (SWAN).

Potret asteroid dekat Bumi 2011 UL21 (lingkaran kuning) hasil jepretan IRT (kiri) dan komet C/2023 Tsuchinshan-ATLAS hasil jepretan OZT-ALTS (kanan)

Melalui tulisan ini, diharapkan seluruh elemen terkait dapat terlibat aktif dalam mewujudkan observatorium berkelas dunia. Para pemangku kebijakan dapat melihat ini sebagai proyek strategis yang bertujuan untuk memicu kebangkitan sains dan teknologi guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Metode survei layaknya LSST milik VRO juga dapat diadopsi untuk menjadi sarana penguat pertahanan dan keamanan terutama dari ancaman benda jatuh antariksa. Akademisi tentunya bertanggungjawab pada kemajuan riset dari observatorium yang nantinya akan kita miliki. Selain itu, mereka juga harus mau mendiseminasikan pengetahuan yang didapat kepada khalayak umum. Peran industri juga tidak bisa kita abaikan. Dukungan dalam bentuk investasi teknologi akan menjadi modal bagi pengembangan observatorium. Lantas bagaimana dengan masyarakat umum? Masyarakat dapat terlibat aktif dalam kegiatan publik seperti edukasi dan proyek citizen science. Intinya adalah semua lapisan masyarakat hendaknya bersatu berseru “Dari Bumi, kita jaga langit”. Karena impian ini sesungguhnya bukan hanya impian kalangan tertentu seperti astronom, tetapi juga kita sebagai sesama anak bangsa.

Mari kita jadikan momentum first light VRO ini sebagai first light juga bagi kebangkitan observatorium di Indonesia. First light VRO ini akan menjadi mercusuar inspirasi bahwa lompatan teknologi bisa kita capai. Indonesia dengan langit tropisnya akan menjadi ‘pemanen’ dengan peluang terbesar dalam survei langit. Keberadaan teleskop robotik di observatorium seperti OAIL serta kemampuannya dalam observasi asteroid membuktikan bahwa asa kebangkitan observatorium di Indonesia ini masih ada. Mungkin sinarnya tidak seterang VRO, tetapi sinar itu masih menyala. Akhir kata, membangun observatorium modern bukan hanya melindungi Bumi, tetapi juga menyalakan mimpi bagi kemajuan sains dan teknologi untuk generasi mendatang. (Humas)

Kontak Penulis
Achmad Zainur Rozzykin, S.Si., M.Si.
Dosen Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan, Fakultas Sains, Itera
Peneliti Observatorium Astronomi Itera Lampung
email : [email protected]