ITERA NEWS – Sebelum terjadinya gempa bumi besar yang mengguncang Myanmar pada Jumat, 28 Maret 2025, dengan magnitudo 7,7 di sesar Sagaing, dosen Program Studi Teknik Geomatika Institut Teknologi Sumatera (Itera), Satrio Muhammad Alif, S.T., M.T.,Ph.D., telah lebih dahulu melakukan penelitian terkait aktivitas lempeng di wilayah episenter gempa tersebut.
Satrio meneliti pergerakan lempeng di sekitar batas Lempeng India dan Sundaland, yang merupakan kelanjutan dari batas lempeng di pesisir barat Sumatera hingga selatan Pulau Jawa. Batas lempeng ini juga diketahui menjadi pemicu gempa besar di Aceh pada 2004.
Dalam penelitiannya yang telah dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi Geoscience Letters pada Maret 2024, Satrio mengungkap bahwa kawasan Sundaland—yang mencakup wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia—merupakan zona aktif secara tektonik. Ia menggunakan data geodetik berbasis Global Navigation Satellite System (GNSS) untuk mengkuantifikasi pergerakan lempeng secara detail.
Data GNSS yang dianalisis mencakup wilayah Sumatera bagian selatan hingga Thailand dan Myanmar, mencakup lokasi dekat episenter gempa Myanmar 2025. Dari data tersebut, Satrio mengidentifikasi dua jenis pergerakan utama, yaitu pergerakan lempeng Sundaland dan deformasi elastis. Estimasi terhadap pergerakan lempeng Sundaland ini memungkinkan pemisahan deformasi elastis yang berkaitan erat dengan potensi terjadinya gempa bumi.
Data GNSS yang dianalisis mencakup wilayah Sumatera bagian selatan hingga Thailand dan Myanmar, mencakup lokasi dekat episenter gempa Myanmar 2025. Dari data tersebut, Satrio mengidentifikasi dua jenis pergerakan utama, yaitu pergerakan lempeng Sundaland dan deformasi elastis
Hasil penelitian menunjukkan adanya pergerakan signifikan di bagian utara lempeng Sundaland, termasuk di sekitar episenter gempa Myanmar 2025, serta di Sumatera bagian tengah dan selatan. Temuan ini mendukung teori bahwa kemungkinan terjadinya gempa bumi akan menurun secara drastis setelah pelepasan energi besar dari gempa bermagnitudo tinggi.
Sebagai contoh, wilayah Sumatera bagian utara yang telah mengalami gempa besar pada 2004 menunjukkan deformasi elastis yang relatif lebih kecil. Sebaliknya, setelah gempa Myanmar 2025 melepaskan energi besar, potensi gempa bumi justru meningkat di wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan.
Meski demikian, Satrio menekankan bahwa prediksi waktu dan kekuatan gempa di wilayah tersebut masih memerlukan penelitian lanjutan, khususnya dengan pemantauan data GNSS jangka panjang serta pemisahan deformasi nonelastis.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dinamika lempeng tektonik di Asia Tenggara dan menjadi landasan penting bagi upaya mitigasi bencana gempa bumi di masa depan. (Rilis/Humas)