Banjir Perkotaan: Pasti Datang, Tapi Bisa Dikendalikan

Banjir Perkotaan: Pasti Datang, Tapi Bisa Dikendalikan

  • Post author:
  • Post category:Berita
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ir. Arif Rohman, S.T.,M.T.
Dosen Teknik Geomatika (Peneliti Banjir) | Wakil Rektor Keuangan dan Umum, Itera
Ph.D Candidate School of Geography, University of Leeds, United Kingdom

Dalam perjalanan pulang dari Bandung ke Lampung, saya menerima banyak informasi terkait banjir yang terjadi di Bandar Lampung dari mahasiswa, dosen, maupun kolega dari berbagai organisasi masyarakat. Hampir setiap tahun, kita menghadapi fenomena yang berulang: hujan deras turun, sungai meluap, dan berbagai kawasan perkotaan kembali terendam. Banjir seolah menjadi rutinitas tahunan yang tak terhindarkan.

Namun, yang sering kita lupakan adalah bahwa banjir bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga hasil dari interaksi manusia dengan lingkungan. Saya ingin mengajak kita semua untuk memahami bahwa banjir adalah fenomena yang pasti terjadi, tetapi risiko dan dampaknya bisa dikendalikan. Manusia bertanggung jawab atas perubahan lingkungan yang dapat memperparah bencana banjir, dan oleh karena itu, kita harus berupaya mengelolanya secara lebih bijak.

Banjir Pasti Terjadi, Tapi Risikonya Bisa Dikurangi

Banjir adalah bagian dari siklus hidrologi yang alami. Ketika curah hujan tinggi, air yang turun akan mencari jalannya sendiri, terutama ke daerah yang secara alami merupakan dataran banjir. Namun, urbanisasi yang pesat membuat air kehilangan tempat resapannya, sehingga aliran permukaan meningkat drastis dan menyebabkan genangan.

Alih-alih terus menyalahkan cuaca atau kondisi geografis, pendekatan yang lebih tepat adalah memahami bahwa banjir pasti terjadi, tetapi dampaknya bisa dikurangi. Hal ini telah menjadi kesepakatan dalam studi kebencanaan melalui pendekatan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction atau DRR).

Alih-alih terus menyalahkan cuaca atau kondisi geografis, pendekatan yang lebih tepat adalah memahami bahwa banjir pasti terjadi, tetapi dampaknya bisa dikurangi. Hal ini telah menjadi kesepakatan dalam studi kebencanaan melalui pendekatan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction atau DRR).

Strategi DRR dapat diterapkan melalui berbagai upaya mitigasi, seperti peningkatan kapasitas drainase, penerapan konsep kota spons (sponge city), dan optimalisasi lahan hijau sebagai daerah resapan. Sayangnya, banyak kota masih mengandalkan solusi jangka pendek, seperti pompa air dan peninggian tanggul, yang sebenarnya hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Satu Wilayah Terdampak, Wilayah Lainnya Bertanggung Jawab

Salah satu kesalahan terbesar dalam memahami banjir adalah menganggapnya sebagai masalah lokal semata. Padahal, kawasan yang tergenang banjir merupakan hasil dari perubahan tata guna lahan di tempat lain. Kita sering mendengar bahwa deforestasi di daerah hulu meningkatkan limpasan air ke daerah hilir, sehingga debit sungai meningkat dan memperbesar risiko banjir. Dengan prinsip yang sama, jika banjir terjadi di daerah Way Lunik, Panjang, Bandar Lampung, maka seharusnya kita dapat mengidentifikasi daerah mana saja yang berkontribusi besar dalam mengalirkan air ke sana.

Kesadaran bahwa banjir adalah masalah sistemik harus diterjemahkan dalam kebijakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dari pemerintah hingga komunitas lokal. Pendekatan sektoral yang selama ini diterapkan harus diubah menjadi pendekatan holistik yang mempertimbangkan keterkaitan antara wilayah hulu, tengah, dan hilir. Tanpa pemahaman ini, solusi yang diambil sering kali hanya bersifat tambal sulam dan tidak menyelesaikan akar permasalahan.

Analisis Spasial: Land Use Examination Global Model (LEx-GM)

Untuk mengatasi banjir secara sistematis, kita membutuhkan pendekatan berbasis data yang dapat mengidentifikasi wilayah mana yang berkontribusi terhadap kejadian banjir di perkotaan. Salah satu konsep pengambilan Keputusan yang dapat digunakan adalah multi criteria decision making (MDMC) melalui analisis spasial.

MDMC dalam konteks analisis banjir sering digunakan untuk menilai risiko banjir, menganalisis dampak penggunaan lahan, dan menentukan alokasi lahan. LEx-GM (Land Use Examination Global Model) adalah model yang kami kembangkan untuk menganalisis dampak penggunaan lahan dan menentukan alokasi lahan. Model ini berfungsi untuk memetakan pola perubahan tata guna lahan, memprediksi dampaknya terhadap hidrologi, serta mengidentifikasi area mana yang memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan risiko banjir.

Dengan adanya model seperti ini, pengambilan keputusan dapat lebih berbasis bukti (evidence-based decision making). Pemerintah dapat menentukan zona-zona yang perlu dilindungi, menetapkan kebijakan tata ruang yang lebih adaptif, serta mengembangkan strategi mitigasi yang lebih efektif. Selain itu, model ini juga bisa digunakan untuk mendukung konsep Nature-Based Solutions (NBS), yaitu pendekatan mitigasi banjir yang memanfaatkan ekosistem alami seperti penghijauan, lahan basah, dan ruang hijau perkotaan sebagai solusi berkelanjutan.

Teknologi saat ini memungkinkan penerapan model banjir secara lebih akurat. Dengan pesawat nirawak drone, kita dapat menghasilkan model topografi yang sangat detail, yang sebelumnya menjadi kelemahan dalam menentukan hulu dan hilir di daerah yang relatif datar. Selain itu, smartphone yang kita miliki juga dapat digunakan untuk menerima informasi secara real-time, menampilkan zona rawan banjir, serta berfungsi sebagai alat bantu evakuasi.

Dari Reaktif ke Proaktif

Pada akhirnya, banjir di perkotaan bukan hanya masalah air yang meluap, tetapi juga masalah bagaimana kita mengelola ruang dan lingkungan. Tanpa kesadaran bahwa setiap wilayah saling berkaitan, kebijakan yang diambil akan tetap bersifat parsial dan tidak efektif serta hanya akan menjadi siklus reaktif yang tidak pernah tuntas.

Coba kita gali kembali memori kita dan bertanya, sejak kapan banjir di Lampung terjadi? Kita membutuhkan pendekatan yang lebih sistemik, berbasis data, dan berorientasi pada mitigasi risiko, bukan sekadar respon reaktif. Dengan memahami bahwa banjir pasti datang, kita harus memastikan bahwa dampaknya bisa dikurangi melalui perencanaan tata guna lahan yang lebih cerdas dan inovatif.

Analisis spasial (seperti Lex-GM) bisa menjadi alat yang membantu perencanaan berbasis bukti, sehingga mitigasi banjir bukan lagi sekadar wacana, tetapi benar-benar menjadi bagian dari kebijakan tata ruang yang berkelanjutan.

Mengelola banjir bukan tentang menghindari air, tetapi tentang memahami bagaimana air bergerak, dari mana asalnya, dan bagaimana kita bisa beradaptasi dengannya. Saatnya bertindak lebih aktif, bukan sekadar menunggu banjir datang. []